Rabu, 13 Juni 2012

UUD RI NOMOR 5 TH 1974

HIHI.... NIH TEMEN TEMEN OR BPK/ IBUK YANG INGIN TAU TENTANG PERATURAN UNDANG'' REPUBLIK INDONESIA ... YANG SAAT INI MASIH BERLAKU ..... NIH  AKU KETIKKAN BUAT KALIAN SEMUA ... HEHEHE....... 

read more yah..... dan baca sesuka hati kalian & jangan lupa follow me...



PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1974
TENTANG
POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH

PENJELASAN UMUM

1.              Dasar Pemikiran
a.              Undang-undang ini disebut “Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah”, oleh karena dalam Undang-undang ini diatur tentang Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah, yang berarti bahwa dalam Undang-undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembangunan di daerah.
b.              Sebagaimana telah diketahui, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah ditugaskan untuk meninjau kembali Undang-undang nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Penugasan tersebut tercantum di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Sebagai pelaksanaan dari penugasan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut, Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah berhasil mengeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, antara lain Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Di dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1969 itu ditentukan bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 termasuk dalam Lampiran III, yaitu Undang-undang yang dinyatakan tidak berlaku tetapi pernyataan tidak berlakunya Undang-undang yang bersangkutan ditetapkan pada saat Undang-undang yang menggantikannya mulai berlaku.
c.              Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonom seluas-luasnya kepada Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi karena materinya sudah tertampung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
d.              Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1966 tantang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut:
 “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
Dari prinsip-prinsip pokok yang telah digariskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut dapat ditarik beberapa intisari sebagai pedoman untuk menyusun Undang-undang ini, yaitu diantaranya ialah:
(1)           prinsip Otonomi Daerah;
(2)           tujuan pemberian otonomi kepada Daerah;
(3)           pengarahan-pengarahan dalam pemberian otonomi kepada Daerah.
(4)           pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan dekonsentrasi.
e.              Prinsip yang dipakai bukan lagi “Otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Dengan demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah “seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Istilah “nyata” dan “bertanggung jawab” kiranya akan lebih menjadi jelas di dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya.
f.                Maksud dan tujuan pemberian otonom kepada Daerah sudah ditegaskan di dalam garis-garis Besar Haluan Negara yang berorientasi pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan di sini adalah pembangunan dalam arti yang luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Jadi pada hakekatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan Rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
g.              Garis-garis Besar Haluan Negara dengan tegas telah memberikan pengarahan-pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Pengarahan-pengarahan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1)           harus serasi dengan pembinaan politik dan Kesatuan Bangsa;
(2)           harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan;
(3)           harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.
Dari pengarahan-pengarahan tersebut tampak dengan jelas perwujudan dari prinsip Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.
Kiranya dapat dimengerti bahwa istilah “Otonomi yang seluas-luasnya” adalah tidak sesuai dengan jiwa pengarahan-pengarahan tersebut, terutama ditinjau dari segi kesatuan Bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan.
h.              Intisari keempat adalah bahwa pemberian otonomi kepada Daerah, dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Rumusan ini adalah sangat tepat dan secara prinsipiil berbeda dengan rumusan yang terkandung dalam penjelasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966, dimana dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dalam predikat “vital”.
Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab asas desentralisasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Apakah sesuatu urusan pemerintahan di daerah akan tetap diselenggarakan oleh perangkat Pemerintah (atas dasar asas dekonsentrasi) ataukah diserahkan kepada Daerah menjadi urusan otonomi (atas dasar asas desentralisasi) terutama didasarkan pada hasil guna dan daya guna penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Oleh karena menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita adalah Negara Kesatuan, maka dalam penyusunan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan dalam melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan apapun dalam rangka kenegaraan harus tetap dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
i.                Dari uraian-uraian diatas jelaslah kiranya bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah menurut Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1)           pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus menunjang aspirasi perjuangan Rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya;
(2)           pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab;
(3)           asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan;
(4)           pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian;
(5)           tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa.

2.              Pembagian Wilayah
a.              Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menentukan tentang pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu antara lain berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Penjelasan pasal 18 itu antara lain berbunyi:
“Oleh karena Negara Kesatuan Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (Streek dan Locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang”.
b.              Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka dalam Undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom dan Wilayah Administratif.
c.              Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut “Daerah”, yang dalam Undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedang Wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif yang dalam Undang-undang ini selanjutnya disebut “Wilayah”. Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.
Pembentukan Wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

3.              Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan
a.              Umum.
Dimuka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah.
Tetapi di samping asas desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.
b.              Desentralisasi.
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri, yaitu:
c.              Dekonsentrasi.
Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksananya adalah terutama Instansi-instansi Vertikal, yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
d.              Tugas Pembantuan.
Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.

4.              Daerah Otonom
a.              Otonomi Daerah:
(1)           Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut maka kepada Daerah perlu diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
(2)           Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut.
(3)           Penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Daerah dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian maka isi otonomi itu berbeda antara Daerah yang satu dengan lainnya.
(4)           Meskipun berbagai urusan telah diserahkan kepada Daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi tanggung jawab terakhir terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada di tangan Pemerintah. Oleh karena itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah itu apabila diperlukan dapat ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah. Misalnya apabila urusan tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas, dan lebih tepat diurus langsung oleh Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya.
(5)           Sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, Undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom. Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah yang dimaksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah maka adalah sewajarnya apabila daerah yang sedemikian itu dihapuskan.
(6)           Sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan dan untuk memudahkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Undang-undang ini mengusahakan sejauh mungkin adanya keseragaman dalam hal pengaturan mengenai Pemerintah Daerah.
b.              Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah:
(1)           Urusan Otonomi Daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Hal ini terutama adalah disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan diatas undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan kepada Daerah tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah. Bahkan dimungkinkan pula penghapusan sesuatu Daerah dan pembentukan Daerah-daerah baru.
(2)           Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dan saran-saran kepada Presiden tentang hal-hal tersebut di atas, maka undang-undang ini menentukan adanya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang terdiri dari beberapa orang Menteri dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
(3)           Dalam hal-hal yang menyangkut pasal-pasal 4 dan 5 Undang-undang ini kekuatan-kekuatan sosial politik diundang untuk didengar pendapatnya.
c.              Keuangan Daerah:
Agar supaya Daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi mengingat bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada Daerah maka kepada daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.              Pemerintah Daerah:
(1)           Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Konstruksi yang demikian ini menjamin adanya kerja sama yang serasi antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan di Daerah.
(2)           Dengan demikian maka dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukannya yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Kepala Daerah memimpin bidang eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bergerak dalam bidang legislatif. Menurut undang-undang ini pembuatan Peraturan Daerah dilakukan bersama-sama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah yang telah dibuat bersama-sama dan telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut ditetapkan dan ditandatangani oleh Kepada Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)           Kiranya perlu ditegaskan di sini, bahwa walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah unsur Pemerintah Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh mencampuri bidang eksekutif tanpa mengurangi hak-haknya sesuai dengan undang-undang ini. Bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggung jawab Kepala Daerah sepenuhnya.
e.              Kepala Daerah:
(1)           Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang Kepala Daerah; dalam pengangkatan seorang Kepala Daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai Kepala Wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercaya sepenuhnya oleh Pemerintah. Dan sebagai Kepala Daerah Otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.
(2)           Tatacara pencalonan, pemilihan dan pengangkatan Kepala Daerah yang ditetapkan dalam pasal-pasal 15 dan 16 Undang-undang ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dari kedua fungsi Kepala Daerah tersebut.
(3)           Sejalan dengan konstruksi yang demikian ini maka undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini adalah sesuai dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan diseluruh wilayah negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-prinsip organisasi dan ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu unsur Pemerintah Daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya Pemerintahan Daerah. Dalam memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala Daerah perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan pasal-pasal 62, 63 dan 64 undang-undang ini. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan tanggapan-tanggapannya sesuai dengan hak-haknya sebagaimana tercantum dalam pasal 29 undang-undang ini.
(4)           Telah jelas, bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Istilah “melalui” di sini bukanlah berarti bahwa Menteri Dalam Negeri hanya meneruskan bahan-bahan pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenangnya dan melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang prinsipi dan penting.
f.                Wakil Kepala Daerah:
Mengingat luasnya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Daerah baik dalam fungsinya sebagai Kepala Wilayah Administratif maupun sebagai Kepala Daerah Otonom, maka pada dasarnya dipandang perlu adanya jabatan Wakil Kepala Daerah. mengingat kondisi Daerah yang berbeda-beda maka pelaksanaan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut akan diadakan menurut kebutuhan. Wakil Kepala Daerah diangkat dari Pegawai Negeri berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku.
g.              Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
(1)           Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai Wakil Rakyat, maka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan hak-hak tertentu, yaitu:
(a)            anggaran;
(b)            mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota;
(c)            meminta keterangan;
(d)            mengadakan perubahan;
(e)            mengajukan pernyataan pendapat;
(f)              prakarsa;
(g)            mengadakan penyelidikan;
(2)           Hak-hak dimaksud di atas adalah untuk memungkinkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan fungsinya. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran penafsiran, maka cara-cara penggunaan hak-hak tersebut di atas diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Khusus mengenai cara penggunaan hak mengadakan penyelidikan diatur dengan undang-undang. Hal ini dipandang perlu, karena penggunaan hak mengadakan penyelidikan itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang luas. Dengan diberikannya hak prakarsa kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka rancangan-rancangan peraturan daerah tidak hanya dibuat oleh kepala daerah tetapi dapat pula dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
h.              Sekretariat Daerah.
(1)           Sekretariat Daerah Tingkat I diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah Propinsi atau Ibukota Negara dan Sekretariat Daerah Tingkat II diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Dengan demikian maka Sekretariat Daerah adalah Sekretariat yang membantu Kepala Daerah dan Kepala Wilayah. Dengan pengintegrasian Sekretariat ini, maka dapatlah diharapkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pekerjaan dan dapat pula dicegah kesimpangsiuran yang tidak perlu.
(2)           Sekretariat Daerah adalah unsur staf. Sebagai unsur staf, maka Sekretariat Daerah menyelenggarakan tugas-tugas umum staf. Mengingat betapa luas dan banyaknya segi-segi tugas staf, maka untuk menyelenggarakannya diperlukan kecakapan, keahlian, pengalaman dan rasa pengabdian yang tinggi. Jabatan staf adalah jabatan karier, oleh sebab itu pegawai yang ditempatkan pada jabatan staf haruslah pegawai yang benar-benar dapat diandalkan dan memenuhi syarat-syarat serta mempunyai kualifikasi-kualifikasi tertentu berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku. Karena jabatan staf adalah jabatan karier, maka Sekretariat Daerah pun adalah jabatan karier.
Dengan perkataan lain, Sekretariat Daerah tidak dipilih, tetapi diangkat dari Pegawai Negeri yang memenuhi syarat-syarat setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Yang dimaksud dengan “setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” ialah bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi.
i.                Dinas Daerah:
(1)           Dinas-dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga Daerah. Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan sesuatu Undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan.
(2)           Dalam menjalankan tugasnya, Dinas-dinas Daerah itu berada sepenuhnya dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
j.                Perusahaan Daerah.
Perusahaan Daerah adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh Daerah untuk memperkembangkan perekonomian Daerah dan untuk menambah penghasilan Daerah. Berhubung dengan itu, maka Perusahaan Daerah harus didasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan yang sehat, atau dengan perkataan lain, Perusahaan Daerah harus melakukan kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hal ini perlu dicegah adanya kecenderungan-kecenderungan ke arah sistem serba negara (etatisme) dan monopoli sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.

5.              Wilayah Administratif
a.              Umum
Untuk merealisasikan ketentuan tentang “daerah administrasi belaka” yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini mengatur secara jelas hal-hal yang berhubungan dengan Wilayah Administratif.
b.              Kepala Wilayah
(1)           Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan sebagainya. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator Kemasyarakatan.
Sebagai wakil Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah pejabat tertinggi di Wilayahnya di bidang Pemerintahan, lepas dari persoalan pangkat.
(2)           Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah:
(a)            Pembinaan ketenteraman dan ketertiban Wilayah:
I.                Ketenteraman dan ketertiban adalah suatu keadaan di mana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur. Ketenteraman dan ketertiban ini dapat terganggu oleh pelbagai sebab dan keadaan, diantaranya ialah:
Pelanggaran hukum yang menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat; bencana-bencana, baik bencana alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh manusia; faktor-faktor yang terletak di bidang ekonomi dan keuangan.
II.              Pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban ini menuju ke arah ketertiban masyarakat adalah tugas kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban yang berlaku di dalam seluruh Wilayah Negara, termasuk di dalamnya pengerahan alat-alat keamanan.
III.             Berhubung dengan luasnya Wilayah Negara dan untuk menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada waktunya, maka dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban itu, dalam keadaan biasa, kepada Kepala Wilayah perlu diberikan beberapa wewenang pembinaan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya yang meliput:
-               Wewenang pengaturan untuk mendorong terciptanya ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
-               Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana-bencana;
-               Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan di bidang politik; ekonomi dan sosial budaya.
IV.           Apabila terjadi atau diperkirakan akan terjadi gangguan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya, maka sesuai dengan sifat, hakekat dan bentuk gangguan tersebut Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan atau mencegah gangguan itu.
Kebijaksanaan ini dapat bersifat Prepentip dan dapat pula bersifat represif.
Yang bersifat Prepentip misalnya kalau ada atau akan ada kegiatan tertentu (pasar malam, perselisihan golongan dan lain-lain) yang diperkirakan akan menimbulkan gangguan terhadap ketenteraman dan ketertiban masyarakat, Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan sebab-sebab yang mungkin menimbulkan gangguan itu. Yang bersifat represif, misalnya kalau terjadi bencana alam, bagaimana memberikan perlindungan serta penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana itu (apakah penduduk itu perlu dipindahkan atau tidak dan sebagainya), bagaimana penyelamatan harta bendanya, pemberian perawatan dan lain-lain.
V.             Sebelum Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaannya, ia diwajibkan untuk mengadakan musyawarah dengan Pimpinan Badan-badan/Alat-alat Keamanan yang ada diwilayahinya untuk bersama-sama menilai keadaan.
Untuk keperluan tersebut dibentuk Badan tersendiri, yang diketuai oleh Kepala Wilayah dan beranggotakan Panglima/Komandan kepala ABRI yang bertugas diwilayahi itu.
VI.           Kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Kepala Wilayah wajib diamankan pelaksanaannya oleh alat-alat Negara. Pelaksanaan pengamanan kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan ketentuan/peraturan dan Doktrin Pelaksanaan Tugas yang berlaku baginya dan yang bersangkutan menyampaikan laporan kepada Kepala Wilayah selaku pemegang kebijaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya.
(b)            Pembinaan Ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa.
I.                Bangsa Indonesia telah mempunyai falsafah dan ideologi PANCASILA, tetapi pengalaman kita selama ini telah membuktikan, bahwa ada golongan yang selalu berusaha merongrong dan menyelewengkan PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945 itu. Walaupun demikian, berkat kebenaran dan keampuhan falsafah dan ideologi PANCASILA itu, segala rongrongan dan penyelewengan terhadap PANCASILA itu akhirnya dapat dipatahkan. Berhubung dengan itu maka adalah menjadi tugas dan kewajiban seluruh perangkat Negara dalam semua tingkat untuk mengamankan dan mengamalkan PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945.
II.              Masyarakat adil dan makmur berdasarkan PANCASILA sebagai tersebut dalam pembukaan undang-undang Dasar 1945 hanyalah dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan secara berencana dalam segala bidang, sedang pembangunan baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila sudah tercipta politik dalam negeri yang stabil dan mantap. Menciptakan kestabilan dan kemantapan politik adalah salah satu tugas Pemerintah yang penting.
III.             Berhubung dengan keadaan Bangsa Indonesia yang bersifat Bhinneka Tunggal Ika, maka usaha-usaha pembinaan kesatuan Bangsa mutlak perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya dan dilaksanakan secara bertahap dan terus menerus.
IV.           Pelaksanaan pembinaan ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan Bangsa di daerah-daerah adalah menjadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab Kepala Wilayah, sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah.
(c)            Penyelenggaraan koordinasi terhadap Instansi-instansi Vertikal.
I.                Instansi-instansi Vertikal adalah perangkat Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen yang ditempatkan di daerah untuk melaksanakan sebagian urusan Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
II.              Dalam prakteknya antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh masing-masing Instansi Vertikal begitu jua antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan Instansi-instansi Vertikal, sangat erat hubungannya satu dan yang lain. Maka untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, sangat perlu penyelenggaraan urusan-urusan itu dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya. Pejabat yang berwenang dan berkewajiban untuk menyelenggarakan koordinasi tersebut adalah Kepala Wilayah. Berhubung dengan itu, maka dalam melaksanakan tugasnya Instansi-instansi Vertikal berada di bawah koordinasi Kepala Wilayah sebagai wakil Pemerintah. Berhubung dengan itu, maka Instansi-instansi Vertikal wajib melaporkan segala rencana dan kegiatan, memberikan keterangan-keterangan yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan oleh Kepala Wilayah.
III.             Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal, begitu juga antara Instansi-instansi Vertikal dengan Pemerintah Daerah, Kepala Wilayah harus selalu memperhatikan dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(d)            Bimbingan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah.
I.                Bimbingan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah disamping menjadi tugas Pemerintah adalah juga menjadi tugas Kepala Wilayah.
II.              Bimbingan dan pengawasan itu harus selalu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
(e)            Pembinaan tertib pemerintahan.
Peraturan perundang-undangan dan Peraturan daerah harus selalu diusahakan agar ditaati bukan saja oleh Rakyat tetapi juga oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang bersangkutan.
Tugas ini adalah tugas Kepala Wilayah dalam semua tingkat. Dalam hubungan ini Kepala Wilayah dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenang yang ada padanya.
(f)              Pelaksanaan tugas-tugas lain.
Selain tugas-tugas sebagai tersebut diatas, maka Kepala Wilayah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan ditugaskan kepadanya dan juga tugas-tugas lain yang tidak menjadi tugas sesuatu Instansi Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah.
(3)           Tindakan Kepolisian
Berhubung dengan pentingnya kedudukan Kepala Wilayah Propinsi maka untuk menjamin kewibawaannya, tatacara tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi tersebut diatur secara khusus.
c.              Sekretariat Wilayah.
(1)           Mengenai Sekretariat Wilayah Propinsi, Ibukota Negara, Kabupaten dan Kotamadya, lihat penjelasan Sekretariat Daerah.
(2)           Sekretariat Wilayah Kecamatan dan Kota Administratif diatur oleh Menteri Dalam Negeri.

6.              Pengawasan
a.              Umum
Dalam segi organisasi, terutama dalam organisasi pemerintahan, fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh Daerah-daerah dan oleh Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.
b.              Pengawasan Umum
Pengawasan Umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan Daerah dengan baik. Pengawasan Umum terhadap pemerintahan Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah di daerah bersangkutan.
c.              Pengawasan Prepentip,
(1)           Pengawasan Prepentip mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu:
(a)            Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I;
(b)            Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II.
(2)           Pada pokoknya Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang untuk berlakunya memerlukan pengesahan adalah yang:
(a)            menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat Rakyat ketentuan-ketentuan yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada Rakyat;
(b)            mengadakan ancaman pidana berupa denda atau kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
(c)            memberikan beban kepada Rakyat, misalnya pajak atau retribusi Daerah;
(d)            menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena menyangkut kepentingan Rakyat, misalnya:
mengadakan hutang-piutang, menanggung pinjaman, mengadakan Perusahaan Daerah, menetapkan dan mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, menetapkan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, mengatur gaji pegawai dan lain-lain;
(e)            Pengawasan Represif.
(1)            Pengawasan Represip dilakukan terhadap semua Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
(2)            Pengawasan Represif berwujud penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah atau Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pasal ini menegaskan arti beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang ini, dengan maksud untuk menyamakan pengertian tentang istilah-istilah itu, sehingga dengan demikian dapat dihindari kesalahpahaman dalam penafsirannya.
Yang dimaksud dengan Pembantu-pembantu Presiden dalam huruf a pasal ini adalah Pembantu Presiden sebagai mana yang di maksud dalam pasal 4 ayat (2) dan pasal 17 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 2
Yang dimaksud dengan kata ”wilayah” (“w” kecil) dalam pasal ini adalah “teritorial” yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 3
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Yang dimaksud dengan perkembangan dan pengembangan selanjutnya ialah perkembangan dan pengembangan otonomi baik mengenai jumlah maupun tingkatnya dalam arti dapat berkembang kesamping, ke atas dan ke bawah.

Pasal 4
Untuk menentukan batas yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini maka setiap Undang-undang pembentukan Daerah dilengkapi dengan peta yang sejauh mungkin dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis Daerah yang bersangkutan. Demikian pula mengenai perubahan batas Daerah dan pembentukan atau perubahan batas Wilayah.

Pasal 5
Lihat penjelasan umum

Pasal 6
Jakarta sebagai Ibu kota Negara republik Indonesia yang ditatapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 78) mempunyai ciri-ciri dan kebutuhan yang berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat menghendaki adanya susunan pemerintahan yang lebih menjamin daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu pasal ini memberikan kemungkinan bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara, dalam wilayahnya dapat mempunyai susunan pemerintahan yang berlainan dengan Daerah Tingkat I lainnya, yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.

Pasal 7
Lihat Penjelasan Umum

Pasal 8
ayat (1)
Lihat Penjelasan Umum
ayat (2)
Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah haruslah disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan itu dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu perlu dikemukakan, bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah ada kalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, yaitu apabila Daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut atau perangkat itu sebelumnya telah diserahkan kepadanya. Sebagai contoh, berbagai urusan di bidang pertanian telah diserahkan kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya. Pada waktu penyerahan itu disertai pula penyerahan perangkatnya, yaitu Dinas Pertanian Rakyat. Jika di kemudian hari terjadi penambahan penyerahan urusan di bidang Pertanian, maka dalam hal ini dengan sendirinya tidak perlu disertai penyerahan perangkatnya lagi, karena perangkat itu telah ada pada Daerah.

Pasal-pasal 9 sampai dengan 13
Lihat Penjelasan Umum

Pasal 14
Cukup Jelas

Pasal 15
Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden.

Pasal 16
Menteri Dalam Negeri, yang dalam hal ini bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah Tingkat II tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon.

Pasal 17
Masa jabatan seorang Kepala Daerah adalah 5 lima (lima) tahun, dihitung mulai tanggal pelantikannya. Apabila masa jabatan ini berakhir, maka ia dapat diangkat kembali sebagai Kepala Daerah untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya. Apabila masa jabatan kedua ini telah berakhir, ia tidak boleh diangkat lagi sebagai Kepala Daerah untuk masa jabatan ketiga kalinya di daerah tersebut.

Pasal 18
Pengucapan sumpah bagi penganut-penganut agama tertentu dapat diketahui dengan kata-kata penyebutan Tuhan Yang Maha Esa menurut agamanya masing-masing. Misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata-kata “Demi Allah”.

Pasal 19
Cukup Jelas

Pasal 20
Maksud diadakan larangan-larangan bagi Kepala Daerah yang dimuat di dalam pasal ini ialah untuk menghilangkan kemungkinan yang dapat mendorong Kepala Daerah berbuat hal-hal yang menyalahi tugas dan tanggung jawabnya sebagai Kepala Daerah.

Pasal 21
Cukup Jelas

Pasal 22
Lihat penjelasan Umum

Pasal 23
ayat (1)
Sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi di dalam Daerahnya. Maka selayaknyalah apabila Kepala Daerah bertindak mewakili Daerahnya dalam segala persoalan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
ayat (2)
Berhubung dengan banyaknya tugas Kepala Daerah, maka apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya dalam hal-hal tertentu di luar dan di dalam Pengadilan. Penunjukan seseorang kuasa harus dilakukan dengan resmi menurut prosedur yang berlaku.

Pasal 24 dan 25
Lihat Penjelasan Umum

pasal 26
Untuk mencegah kekosongan pimpinan pemerintah Daerah, baik bagi Daerah yang mempunyai Wakil Kepala Daerah maupun yang tidak mempunyai Wakil Kepala Daerah, maka pasal ini menugaskan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengatur tentang pejabat yang mewakili Kepala Daerah dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan.

Pasal 27
Yang dimaksud dengan Undang-undang dalam pasal ini adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 selama belum diubah atau diganti.

Pasal-pasal 28 sampai dengan 31
Cukup Jelas

pasal 32
ayat (1)
Sifat terbuka rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sesuai dengan cita-cita Demokrasi PANCASILA, oleh karena dengan demikian Rakyat dapat mengikuti secara langsung tentang hal-hal yang dibicarakan dalam rapat-rapat itu.
ayat (2)
Rapat tertutup dapat diadakan apabila masalah yang akan dibicarakan bersifat rahasia.
ayat (3)
Cukup Jelas
ayat (4)
Mereka yang hadir dalam rapat-rapat tertutup yang sengaja membocorkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut sebelum Dewan membebaskannya, dapat dituntut di muka Pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33
Pasal ini mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat yang obyektif dan bermanfaat yang memang seyogyanya harus dijamin dalam Negara Demokrasi PANCASILA. Namun demikian para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib memegang teguh kode etik yang mengandung prinsip bahwa sesuatu hal yang harus dirahasiakan tidak boleh dibocorkan.
ayat (2)
Lihat Penjelasan Pasal 83

Pasal 34
Cukup Jelas

Pasal 35
Dalam menjalankan pemerintahan Daerah perlu dijaga jangan sampai Negara atau Daerah yang bersangkutan menderita kerugian. Yang menjalankan pemerintahan Daerah adalah pemerintah Daerah, yakni Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Apabila Kepala Daerah melalaikan tugasnya sehingga dapat merugikan Negara atau Daerah, maka terhadapnya dapat dilakukan tindakan administratif. Jika yang melalaikan itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan demikian itu tidak dapat dijalankan.
Karena itu untuk mengatasi perlu ditentukan cara bagaimana hak dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu harus dijalankan.

Pasal 36
Cukup Jelas

Pasal 37
Pengangkatan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari pegawai Negeri dengan memperhatikan peraturan kepegawaian yang berlaku dan termasuk formasi pegawai Sekretariat daerah

Pasal-pasal 38 dan 39
Cukup Jelas.

Pasal 40
Pengundangan Peraturan Daerah yang dilakukan menurut cara yang sah, merupakan keharusan agar Peraturan Daerah itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Cara pengundangan yang sah adalah pengundangan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah dengan penempatan Peraturan Daerah itu dalam Lembaran Daerah, dengan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang berlakunya memerlukan pengesahan lebih dahulu dari pejabat yang berwenang, baru dapat diundangkan setelah Peraturan Daerah itu disahkan.
Penempatan Peraturan Daerah di dalam surat kabar atau pengumuman dengan cara lain, seperti melalui radio dan televisi, tidak merupakan pengundangan yang sah melainkan suatu pengumuman biasa, sehingga belum mempunyai kekuatan hukum dan belum mengikat.

Pasal 41
Cukup Jelas.

Pasal 42
Pelaksanaan yang dilakukan oleh penguasa eksekutif untuk menegakkan hukum dalam Undang-undang ini disebut “pelaksanaan penegakan hukum” atau “paksaan pemeliharaan hukum”. Paksaan penegakan hukum dianggap telah tersimpul dalam hak penguasa eksekutif dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah, sehingga tidak perlu lagi untuk memberikan dasar hukum tertulis mengenai hak penguasa eksekutif untuk melakukan paksaan yang dianggapnya perlu dalam menjalankan Peraturan Daerah. karena itu di dalam pasal ini hal itu tidak perlu diatur lagi. Yang diatur hanyalah mengenai pembebanan kepada pelanggar dengan biaya seluruhnya atau sebagian, yang telah dikeluarkan oleh Daerah untuk melakukan paksaan penegakan hukum itu.
Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah, melakukan atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum. Kiranya perlu ditegaskan, bahwa paksaan penegakan hukum hanya sah jika paksaan itu digunakan untuk menegakkan hukum.
Paksaan itu harus langsung tertuju pada pemulihan sesuatu keadaan yang sah atau pencegahan terjadinya sesuatu keadaan yang tidak sah. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak memperdulikannya, barulah dijalankan suatu tindakan yang memaksa. Pejabat yang menjalankan paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar, harus dengan tegas diserahi tugas itu. Oleh karena paksaan penegakan hukum itu pada umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanyalah dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara yang seimbang dengan beratnya pelanggaran.

Pasal 43 dan 44
Cukup Jelas

Pasal 45
Oleh karena Kepala Daerah adalah penguasa eksekutif, maka pelaksanaan Peraturan Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah apabila Peraturan Daerah itu tidak menunjuk pelaksana lain. Kepala Daerah juga melaksanakan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah. Untuk melaksanakan tugas pembantuan itu dapat dibuat Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 46
Badan Pertimbangan Daerah yang dimaksud dalam pasal ini ialah suatu Badan yang baik diminta maupun tidak, bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Daerah mengenai segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar supaya Badan tersebut dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi Kepala Daerah, maka Badan tersebut dapat senantiasa mengikuti perkembangan pemerintahan Daerah, dalam arti tidak turut campur secara langsung dalam soal-soal pelaksanaan pemerintahan.
Kiranya cukup jelas bahwa Badan tersebut tidak mempunyai kedudukan dan wewenang seperti Badan Pemerintah Harian atau Dewan Pemerintah Daerah yang pernah ada.

Pasal 47
Cukup Jelas.

Pasal 48
Yang dimaksud dengan “setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” ialah bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangannya kepada Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi.

Pasal 49
Cukup Jelas

Pasal-pasal 50 sampai dengan 54
Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 50 sampai dengan 54 ini harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 55
Sumber pendapatan Daerah dibagi dalam 3 (tiga) golongan yakni:
a.              pendapatan asli Daerah sendiri;
b.              pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah;
c.              lain-lain pendapatan yang sah.
Mengenai “lain-lain pendapatan yang sah” dapat ditugaskan, bahwa yang termasuk dalam golongan ini adalah pendapatan Daerah yang berasal dari sumber lain daripada yang tersebut dalam huruf a dan b misalnya sumbangan dari pihak ketiga kepada Daerah dan lain-lain.

Pasal-pasal 56 sampai dengan 60
Cukup Jelas.

Pasal 61
Yang berwenang mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman adalah Kepala Daerah, yang menetapkan dengan suatu Keputusan Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah tersebut harus lebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Keputusan Kepala Daerah tersebut bagi Daerah Tingkat I maupun bagi daerah tingkat II, untuk dapat berlaku memerlukan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri. Ditentukannya Keputusan Kepala Daerah tersebut dibawah pengawasan Prepentip langsung oleh Menteri Dalam Negeri adalah terutama karena mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu sangat penting artinya dan besar pula akibatnya, karena dapat merupakan beban Rakyat, tidak saja untuk satu generasi, bahkan mungkin pula untuk beberapa generasi. Di dalam Keputusan Kepala Daerah itu harus pula ditetapkan sumber-sumber untuk memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran-angsurannya, demikian pula cara pembayarannya, sehingga menurut keputusan dalam pasal 32 ayat (3) Undang-undang ini, keputusan untuk mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu tidak boleh diambil dalam rapat tertutup dari Dewan perwakilan Rakyat.

Pasal 62
Cukup Jelas.

Pasal 63
Cukup Jelas.

Pasal 64
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah suatu hal yang sangat penting, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu;
a.              Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan;
b.              Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab;
c.              Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab Pemerintah Daerah umumnya dan kepala Daerah khususnya, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan Pemerintah Daerah;
d.              Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap Daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna;
e.              Merupakan suatu pemberian kuasa kepada Kepala Daerah untuk melakukan penyelenggaraan keuangan Daerah di dalam batas-batas tertentu.
Berhubung dengan itu maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan seksama dengan memperhatikan skala prioritas dan dalam pelaksanaannya harus terarah pada sasaran dengan cara berdaya guna dan berhasil guna.
Oleh karena tahun anggaran Negara dengan tahun anggaran Daerah adalah sama dan Daerah baru dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya sesudah diketahui besarnya subsidi yang akan diterimanya, maka dalam praktek proses penyusunan dan pengesahan serta pengundangan Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah itu baru dapat diselesaikan beberapa bulan setelah permulaan tahun anggaran.
Namun demikian persiapan-persiapan sudah dapat dimulai sebelumnya. Selama proses itu berlangsung, kegiatan Pemerintah Daerah yang memerlukan pembiayaan berlangsung terus. Untuk itu diperlukan adanya ketentuan pasal ini.

Pasal 65
Cukup Jelas,

Pasal 66
Sudah sewajarnya bahwa Instansi yang lebih tinggi bertindak dan mengambil keputusan untuk mengatasi perselisihan yang timbul antara Instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya.
Perselisihan itu dapat terjadi antara:
a.              Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat I lainnya;
b.              Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam Wilayah Daerah Tingkat I tersebut.
c.              Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam Daerah Tingkat I lain;
d.              Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II di dalam satu daerah Tingkat I;
e.              Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II yang tidak termasuk di dalam satu Daerah Tingkat I.
Perselisihan yang dimaksud dalam huruf a, b, c dan d diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri, sedang perselisihan yang dimaksud dalam huruf d diputuskan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini sudah tentu hanya mengenai perselisihan mengenai pemerintahan, jadi yang bersifat hukum publik, sebab perselisihan yang bersifat hukum perdata sudah jelas menjadi kompetensi Pengadilan.

Pasal 67
Cukup Jelas.

Pasal-pasal 68 sampai dengan 72
Lihat Penjelasan Umum.

Pasal 73
Mengingat hanya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan urusan pemerintah umum, terutama dalam hal pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya dalam rangka dekonsentrasi.

Pasal 74
Maksud pasal ini adalah untuk menegaskan, bahwa wilayah Daerah Tingkat I adalah juga wilayah Propinsi atau Ibukota Negara. Oleh sebab itu nama dan batas Daerah Tingkat I adalah juga nama dan batas Propinsi atau Ibukota Negara.
Sehubungan dengan itu maka ibukota Daerah Tingkat I adalah juga ibukota Propinsi. Pengertian ini berlaku juga untuk Daerah Tingkat II.

Pasal 75
Yang dimaksud dengan “sebutan” dalam pasal ini ialah sebutan Wilayah lainnya, yaitu Wilayah-wilayah yang tidak termasuk dalam pasal 74 misalnya Kecamatan dan Kota Administratif.

Pasal-pasal 76 sampai dengan 79
Cukup Jelas.

Pasal-pasal 80 dan 81
Lihat Penjelasan Umum.

Pasal 82
Cukup Jelas.

Pasal 83
Yang dimaksud dengan tindakan-tindakan kepolisian adalah pemanggilan sehubungan dengan tindakan pidana yang menyangkut Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara, meminta keterangan tentang tindak pidana, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Pengaturan tatacara tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara memiliki hak kekebalan terhadap tuntutan hukum.

Pasal 84 dan 85
Cukup Jelas.

Pasal 86
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Susunan organisasi dan formasi satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendengar pertimbangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.

Pasal-pasal 87 dan 88
Cukup Jelas.

Pasal 89
Pasal ini menentukan, bahwa pokok-pokok susunan organisasi dan hubungan kerja antara perangkat Pemerintah di daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dianggap penting, karena pada hakekatnya tugas dan wewenang perangkat Pemerintah di daerah itu sangat erat hubungannya satu dengan yang lain. Dengan adanya peraturan ini, maka dapatlah dihindarkan persentuhan wewenang dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 90
Untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna serta dalam rangka usaha untuk sejauh mungkin menyeragamkan organisasi, maka perlu ditetapkan pola organisasi Pemerintah Daerah dan perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan umum di daerah. Pola organisasi ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan keadaan Daerah yang berbeda-beda.

Pasal 91 dan 92
Cukup Jelas.

Pasal 93
Meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 telah dicabut, akan tetapi sebutan “Daerah Istimewa Aceh” masih tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I lainnya, dengan wewenang mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1965 yakni meliputi urusan-urusan pemerintahan sebagai berikut:
a.              Hal penguburan mayat,
b.              Hal sumur bor,
c.              Hal Undang-undang gangguan,
d.              Hal pembikinan dan penjualan es dan barang cair yang mengandung zat arang.
e.              Hal penangkapan ikan di pantai,
f.                Hal perhubungan dan lalu-lintas jalan,
g.              Hal pengambilan benda-benda tambang tidak disebut dalam pasal 1 “Indische mijnwet”
h.              Hal kehutanan.
Disamping itu dengan berbagai Peraturan Pemerintah telah diserahkan pula urusan-urusan pemerintahan sebagai berikut:
a.              Pertanian Rakyat - PP. No. 47/1951 jo UU. No. 24/1956
b.              Peternakan/Kehewanan - PP. No. 48/1951 jo UU. No. 24/1956

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3037

Tidak ada komentar:

Posting Komentar