HIHI.... NIH TEMEN TEMEN OR BPK/ IBUK YANG INGIN TAU TENTANG PERATURAN UNDANG'' REPUBLIK INDONESIA ... YANG SAAT INI MASIH BERLAKU ..... NIH AKU KETIKKAN BUAT KALIAN SEMUA ... HEHEHE.......
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
5 TAHUN 1974
TENTANG
POKOK-POKOK
PEMERINTAHAN DI DAERAH
PENJELASAN UMUM
1.
Dasar Pemikiran
a.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah”, oleh karena dalam Undang-undang ini diatur
tentang Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dan pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah,
yang berarti bahwa dalam Undang-undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan
urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan
asas tugas pembangunan di daerah.
b.
Sebagaimana telah diketahui, Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara telah ditugaskan untuk meninjau kembali
Undang-undang nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Penugasan tersebut tercantum di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada
Daerah. Sebagai pelaksanaan dari penugasan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara tersebut, Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong telah berhasil mengeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, antara lain Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Di dalam
Undang-undang nomor 6 Tahun 1969 itu ditentukan bahwa Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965 termasuk dalam Lampiran III, yaitu Undang-undang yang dinyatakan
tidak berlaku tetapi pernyataan tidak berlakunya Undang-undang yang
bersangkutan ditetapkan pada saat Undang-undang yang menggantikannya mulai
berlaku.
c.
Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa
ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonom seluas-luasnya kepada Daerah dinyatakan
tidak berlaku lagi karena materinya sudah tertampung dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara.
d.
Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor IV/MPR/1966 tantang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah digariskan
prinsip-prinsip pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut:
“Dalam rangka
melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara,
dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan,
diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang
dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan
bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
Dari prinsip-prinsip
pokok yang telah digariskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut dapat
ditarik beberapa intisari sebagai pedoman untuk menyusun Undang-undang ini,
yaitu diantaranya ialah:
(1)
prinsip Otonomi Daerah;
(2)
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah;
(3)
pengarahan-pengarahan dalam pemberian otonomi
kepada Daerah.
(4)
pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan
dekonsentrasi.
e.
Prinsip yang dipakai bukan lagi “Otonomi yang riil
dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Dengan
demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip yang
harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah
“seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama
ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang
dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Istilah “nyata” dan “bertanggung
jawab” kiranya akan lebih menjadi jelas di dalam penjelasan-penjelasan
selanjutnya.
f.
Maksud dan tujuan pemberian otonom kepada Daerah
sudah ditegaskan di dalam garis-garis Besar Haluan Negara yang berorientasi
pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan di sini adalah pembangunan
dalam arti yang luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Jadi
pada hakekatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pada hak,
yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan Rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab.
g.
Garis-garis Besar Haluan Negara dengan tegas telah
memberikan pengarahan-pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Pengarahan-pengarahan tersebut
mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1)
harus serasi dengan pembinaan politik dan Kesatuan
Bangsa;
(2)
harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan;
(3)
harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan
Daerah.
Dari
pengarahan-pengarahan tersebut tampak dengan jelas perwujudan dari prinsip
Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa
pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian
otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan
yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan
dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan
politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah
Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.
Kiranya dapat
dimengerti bahwa istilah “Otonomi yang seluas-luasnya” adalah tidak sesuai
dengan jiwa pengarahan-pengarahan tersebut, terutama ditinjau dari segi
kesatuan Bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan.
h.
Intisari keempat adalah bahwa pemberian otonomi
kepada Daerah, dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Rumusan ini
adalah sangat tepat dan secara prinsipiil berbeda dengan rumusan yang
terkandung dalam penjelasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nomor XXI/MPRS/1966, dimana dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja
sekalipun dalam predikat “vital”.
Dengan prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab asas desentralisasi bukan sekedar
komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama
pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Apakah sesuatu
urusan pemerintahan di daerah akan tetap diselenggarakan oleh perangkat
Pemerintah (atas dasar asas dekonsentrasi) ataukah diserahkan kepada Daerah
menjadi urusan otonomi (atas dasar asas desentralisasi) terutama didasarkan
pada hasil guna dan daya guna penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Oleh karena menurut
Undang-undang Dasar 1945 Negara kita adalah Negara Kesatuan, maka dalam
penyusunan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan dalam
melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan apapun dalam rangka kenegaraan
harus tetap dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
i.
Dari uraian-uraian diatas jelaslah kiranya bahwa
penyelenggaraan pemerintah di daerah menurut Undang-undang ini dilaksanakan
berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1)
pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus
menunjang aspirasi perjuangan Rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan
mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya;
(2)
pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab;
(3)
asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama
dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan
asas tugas pembantuan;
(4)
pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek
keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian;
(5)
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta
untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa.
2.
Pembagian Wilayah
a.
Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menentukan
tentang pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu
antara lain berbunyi:
“Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-undang”.
Penjelasan pasal 18
itu antara lain berbunyi:
“Oleh karena Negara
Kesatuan Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tidak akan
mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi
pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (Streek
dan Locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administratif belaka, semuanya
menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang”.
b.
Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip
tersebut diatas maka dalam Undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya
Daerah Otonom dan Wilayah Administratif.
c.
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut “Daerah”, yang
dalam Undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Sedang Wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif
yang dalam Undang-undang ini selanjutnya disebut “Wilayah”. Wilayah-wilayah
disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.
Pembentukan
Wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian
dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
3.
Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan
a.
Umum.
Dimuka telah
dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
yang kemudian diperjelas dalam Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan
melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam menyelenggarakan
pemerintahan di daerah.
Tetapi di samping
asas desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-undang ini juga memberikan
dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut
asas tugas pembantuan.
b.
Desentralisasi.
Urusan-urusan
pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas
desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah
sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik
yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang
menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya
adalah perangkat Daerah itu sendiri, yaitu:
c.
Dekonsentrasi.
Oleh karena tidak
semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas
desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah
dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas
dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun
pembiayaannya. Unsur pelaksananya adalah terutama Instansi-instansi Vertikal,
yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat
Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan
dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
d.
Tugas Pembantuan.
Di muka telah
disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap
merupakan Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah
Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih
menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat
terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di daerah. Dan juga ditinjau
dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan
apabila semua urusan Pemerintah Pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh
perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang
sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit
untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Undang-undang
ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan
di daerah menurut asas tugas pembantuan.
4.
Daerah Otonom
a.
Otonomi Daerah:
(1)
Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut maka kepada Daerah perlu
diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangganya.
(2)
Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik
berat otonomi pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat
II yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat
lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut.
(3)
Penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Daerah
dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah yang
bersangkutan. Dengan demikian maka isi otonomi itu berbeda antara Daerah yang
satu dengan lainnya.
(4)
Meskipun berbagai urusan telah diserahkan kepada
Daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi tanggung jawab terakhir
terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada di tangan Pemerintah. Oleh karena
itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah
itu apabila diperlukan dapat ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah.
Misalnya apabila urusan tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga
menyangkut kepentingan yang lebih luas, dan lebih tepat diurus langsung oleh
Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya.
(5)
Sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab, Undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom.
Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah yang dimaksud
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan,
terutama dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Apabila setelah
dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu
Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya
menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah maka adalah sewajarnya apabila
daerah yang sedemikian itu dihapuskan.
(6)
Sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan dan untuk
memudahkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Undang-undang
ini mengusahakan sejauh mungkin adanya keseragaman dalam hal pengaturan
mengenai Pemerintah Daerah.
b.
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah:
(1)
Urusan Otonomi Daerah tidaklah statis, tetapi
berkembang dan berubah. Hal ini terutama adalah disebabkan oleh keadaan yang
timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu,
sebagaimana telah dikemukakan diatas undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk
secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan kepada Daerah tetapi
sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula telah
diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah. Bahkan dimungkinkan pula
penghapusan sesuatu Daerah dan pembentukan Daerah-daerah baru.
(2)
Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dan
saran-saran kepada Presiden tentang hal-hal tersebut di atas, maka
undang-undang ini menentukan adanya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang
terdiri dari beberapa orang Menteri dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
(3)
Dalam hal-hal yang menyangkut pasal-pasal 4 dan 5
Undang-undang ini kekuatan-kekuatan sosial politik diundang untuk didengar
pendapatnya.
c.
Keuangan Daerah:
Agar supaya Daerah
dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepadanya
perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi mengingat bahwa
tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada Daerah maka kepada daerah
diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.
Pemerintah Daerah:
(1)
Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa Pemerintah
Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Konstruksi yang
demikian ini menjamin adanya kerja sama yang serasi antara Kepala Daerah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan di Daerah.
(2)
Dengan demikian maka dalam menyelenggarakan
pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukannya yang
sama tinggi antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu
Kepala Daerah memimpin bidang eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bergerak dalam bidang legislatif. Menurut undang-undang ini pembuatan Peraturan
Daerah dilakukan bersama-sama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Peraturan Daerah yang telah dibuat bersama-sama dan telah mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut ditetapkan dan
ditandatangani oleh Kepada Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)
Kiranya perlu ditegaskan di sini, bahwa walaupun
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah unsur Pemerintah Daerah, tetapi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh mencampuri bidang eksekutif tanpa
mengurangi hak-haknya sesuai dengan undang-undang ini. Bidang eksekutif adalah
wewenang dan tanggung jawab Kepala Daerah sepenuhnya.
e.
Kepala Daerah:
(1)
Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu
fungsi sebagai Kepala Daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung
jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala
Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi
tugas Pemerintah Pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa
penting dan luasnya tugas seorang Kepala Daerah; dalam pengangkatan seorang
Kepala Daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi
persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai Kepala Wilayah, maka ia harus
mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercaya sepenuhnya oleh
Pemerintah. Dan sebagai Kepala Daerah Otonom, maka ia perlu mendapat dukungan
dari rakyat yang dipimpinnya.
(2)
Tatacara pencalonan, pemilihan dan pengangkatan
Kepala Daerah yang ditetapkan dalam pasal-pasal 15 dan 16 Undang-undang ini
dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dari kedua fungsi Kepala Daerah tersebut.
(3)
Sejalan dengan konstruksi yang demikian ini maka
undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini adalah sesuai
dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam
penyelenggaraan pemerintahan diseluruh wilayah negara. Dan ditinjau dari segi
prinsip-prinsip organisasi dan ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala
Daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala
Daerah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun
demikian, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan Daerah
yang dipimpinnya, agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu
unsur Pemerintah Daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya
Pemerintahan Daerah. Dalam memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala
Daerah perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan pasal-pasal 62, 63 dan 64
undang-undang ini. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
memberikan tanggapan-tanggapannya sesuai dengan hak-haknya sebagaimana
tercantum dalam pasal 29 undang-undang ini.
(4)
Telah jelas, bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Istilah “melalui” di sini
bukanlah berarti bahwa Menteri Dalam Negeri hanya meneruskan bahan-bahan
pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengambil tindakan-tindakan yang dianggap
perlu sesuai dengan wewenangnya dan melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal
yang prinsipi dan penting.
f.
Wakil Kepala Daerah:
Mengingat luasnya
tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Daerah baik dalam fungsinya sebagai
Kepala Wilayah Administratif maupun sebagai Kepala Daerah Otonom, maka pada
dasarnya dipandang perlu adanya jabatan Wakil Kepala Daerah. mengingat kondisi
Daerah yang berbeda-beda maka pelaksanaan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah
tersebut akan diadakan menurut kebutuhan. Wakil Kepala Daerah diangkat dari
Pegawai Negeri berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku.
g.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
(1)
Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai Wakil
Rakyat, maka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan hak-hak tertentu,
yaitu:
(a)
anggaran;
(b)
mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota;
(c)
meminta keterangan;
(d)
mengadakan perubahan;
(e)
mengajukan pernyataan pendapat;
(f)
prakarsa;
(g)
mengadakan penyelidikan;
(2)
Hak-hak dimaksud di atas adalah untuk memungkinkan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan fungsinya. Untuk menghindarkan
kesimpangsiuran penafsiran, maka cara-cara penggunaan hak-hak tersebut di atas
diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Khusus mengenai cara
penggunaan hak mengadakan penyelidikan diatur dengan undang-undang. Hal ini
dipandang perlu, karena penggunaan hak mengadakan penyelidikan itu mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang luas. Dengan diberikannya hak prakarsa kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka rancangan-rancangan peraturan daerah tidak
hanya dibuat oleh kepala daerah tetapi dapat pula dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
h.
Sekretariat Daerah.
(1)
Sekretariat Daerah Tingkat I diintegrasikan dengan
Sekretariat Wilayah Propinsi atau Ibukota Negara dan Sekretariat Daerah Tingkat
II diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Dengan
demikian maka Sekretariat Daerah adalah Sekretariat yang membantu Kepala Daerah
dan Kepala Wilayah. Dengan pengintegrasian Sekretariat ini, maka dapatlah
diharapkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pekerjaan dan dapat
pula dicegah kesimpangsiuran yang tidak perlu.
(2)
Sekretariat Daerah adalah unsur staf. Sebagai unsur
staf, maka Sekretariat Daerah menyelenggarakan tugas-tugas umum staf. Mengingat
betapa luas dan banyaknya segi-segi tugas staf, maka untuk menyelenggarakannya
diperlukan kecakapan, keahlian, pengalaman dan rasa pengabdian yang tinggi.
Jabatan staf adalah jabatan karier, oleh sebab itu pegawai yang ditempatkan
pada jabatan staf haruslah pegawai yang benar-benar dapat diandalkan dan
memenuhi syarat-syarat serta mempunyai kualifikasi-kualifikasi tertentu
berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku. Karena jabatan staf adalah
jabatan karier, maka Sekretariat Daerah pun adalah jabatan karier.
Dengan perkataan
lain, Sekretariat Daerah tidak dipilih, tetapi diangkat dari Pegawai Negeri
yang memenuhi syarat-syarat setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Yang dimaksud dengan “setelah mendengar pertimbangan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” ialah bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Daerah setelah
mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi.
i.
Dinas Daerah:
(1)
Dinas-dinas Daerah adalah unsur pelaksana
Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas Daerah
adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga Daerah. Pembentukan
Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang
Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan sesuatu
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak
dibenarkan.
(2)
Dalam menjalankan tugasnya, Dinas-dinas Daerah itu
berada sepenuhnya dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
j.
Perusahaan Daerah.
Perusahaan Daerah
adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh Daerah untuk memperkembangkan
perekonomian Daerah dan untuk menambah penghasilan Daerah. Berhubung dengan
itu, maka Perusahaan Daerah harus didasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan
yang sehat, atau dengan perkataan lain, Perusahaan Daerah harus melakukan
kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hal ini perlu dicegah
adanya kecenderungan-kecenderungan ke arah sistem serba negara (etatisme) dan
monopoli sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.
5.
Wilayah Administratif
a.
Umum
Untuk merealisasikan
ketentuan tentang “daerah administrasi belaka” yang dimaksud dalam penjelasan
pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini mengatur secara jelas
hal-hal yang berhubungan dengan Wilayah Administratif.
b.
Kepala Wilayah
(1)
Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil
Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah,
kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri
dan bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan
sebagainya. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat
dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah
Administrator Kemasyarakatan.
Sebagai wakil
Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah pejabat tertinggi
di Wilayahnya di bidang Pemerintahan, lepas dari persoalan pangkat.
(2)
Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah
adalah:
(a)
Pembinaan ketenteraman dan ketertiban Wilayah:
I.
Ketenteraman dan ketertiban adalah suatu keadaan di
mana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan
teratur. Ketenteraman dan ketertiban ini dapat terganggu oleh pelbagai sebab
dan keadaan, diantaranya ialah:
Pelanggaran hukum
yang menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat;
bencana-bencana, baik bencana alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh
manusia; faktor-faktor yang terletak di bidang ekonomi dan keuangan.
II.
Pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban ini menuju ke arah ketertiban masyarakat adalah tugas kewajiban dan tanggung
jawab Pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembinaan
serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban yang berlaku di dalam seluruh
Wilayah Negara, termasuk di dalamnya pengerahan alat-alat keamanan.
III.
Berhubung dengan luasnya Wilayah Negara dan untuk
menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada waktunya, maka dalam rangka
pelaksanaan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban itu, dalam keadaan biasa, kepada Kepala Wilayah perlu diberikan
beberapa wewenang pembinaan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya yang
meliput:
-
Wewenang pengaturan untuk mendorong terciptanya ketenteraman
dan ketertiban masyarakat;
-
Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan
penanggulangan bencana-bencana;
-
Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan di bidang
politik; ekonomi dan sosial budaya.
IV.
Apabila terjadi atau diperkirakan akan terjadi
gangguan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya, maka sesuai dengan sifat,
hakekat dan bentuk gangguan tersebut Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk
meniadakan atau mencegah gangguan itu.
Kebijaksanaan ini
dapat bersifat Prepentip dan dapat pula bersifat represif.
Yang bersifat Prepentip
misalnya kalau ada atau akan ada kegiatan tertentu (pasar malam, perselisihan
golongan dan lain-lain) yang diperkirakan akan menimbulkan gangguan terhadap ketenteraman
dan ketertiban masyarakat, Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk
meniadakan sebab-sebab yang mungkin menimbulkan gangguan itu. Yang bersifat
represif, misalnya kalau terjadi bencana alam, bagaimana memberikan
perlindungan serta penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana itu (apakah
penduduk itu perlu dipindahkan atau tidak dan sebagainya), bagaimana
penyelamatan harta bendanya, pemberian perawatan dan lain-lain.
V.
Sebelum Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaannya,
ia diwajibkan untuk mengadakan musyawarah dengan Pimpinan Badan-badan/Alat-alat
Keamanan yang ada diwilayahinya untuk bersama-sama menilai keadaan.
Untuk keperluan
tersebut dibentuk Badan tersendiri, yang diketuai oleh Kepala Wilayah dan
beranggotakan Panglima/Komandan kepala ABRI yang bertugas diwilayahi itu.
VI.
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Kepala
Wilayah wajib diamankan pelaksanaannya oleh alat-alat Negara. Pelaksanaan
pengamanan kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan ketentuan/peraturan dan Doktrin
Pelaksanaan Tugas yang berlaku baginya dan yang bersangkutan menyampaikan
laporan kepada Kepala Wilayah selaku pemegang kebijaksanaan pembinaan ketenteraman
dan ketertiban di wilayahnya.
(b)
Pembinaan Ideologi Negara, politik dalam negeri dan
kesatuan bangsa.
I.
Bangsa Indonesia telah mempunyai falsafah dan
ideologi PANCASILA, tetapi pengalaman kita selama ini telah membuktikan, bahwa
ada golongan yang selalu berusaha merongrong dan menyelewengkan PANCASILA dan
Undang-undang Dasar 1945 itu. Walaupun demikian, berkat kebenaran dan keampuhan
falsafah dan ideologi PANCASILA itu, segala rongrongan dan penyelewengan
terhadap PANCASILA itu akhirnya dapat dipatahkan. Berhubung dengan itu maka
adalah menjadi tugas dan kewajiban seluruh perangkat Negara dalam semua tingkat
untuk mengamankan dan mengamalkan PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945.
II.
Masyarakat adil dan makmur berdasarkan PANCASILA
sebagai tersebut dalam pembukaan undang-undang Dasar 1945 hanyalah dapat
dicapai dengan melaksanakan pembangunan secara berencana dalam segala bidang,
sedang pembangunan baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila sudah tercipta
politik dalam negeri yang stabil dan mantap. Menciptakan kestabilan dan
kemantapan politik adalah salah satu tugas Pemerintah yang penting.
III.
Berhubung dengan keadaan Bangsa Indonesia yang
bersifat Bhinneka Tunggal Ika, maka usaha-usaha pembinaan kesatuan Bangsa
mutlak perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya dan dilaksanakan secara
bertahap dan terus menerus.
IV.
Pelaksanaan pembinaan ideologi Negara, politik
dalam negeri dan kesatuan Bangsa di daerah-daerah adalah menjadi tugas,
kewajiban dan tanggung jawab Kepala Wilayah, sesuai dengan kebijaksanaan yang
digariskan oleh Pemerintah.
(c)
Penyelenggaraan koordinasi terhadap
Instansi-instansi Vertikal.
I.
Instansi-instansi Vertikal adalah perangkat
Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen yang
ditempatkan di daerah untuk melaksanakan sebagian urusan Departemen-departemen
atau Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
II.
Dalam prakteknya antara urusan-urusan yang
diselenggarakan oleh masing-masing Instansi Vertikal begitu jua antara
urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan Instansi-instansi
Vertikal, sangat erat hubungannya satu dan yang lain. Maka untuk mencapai daya
guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, sangat perlu penyelenggaraan
urusan-urusan itu dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya. Pejabat yang berwenang
dan berkewajiban untuk menyelenggarakan koordinasi tersebut adalah Kepala
Wilayah. Berhubung dengan itu, maka dalam melaksanakan tugasnya
Instansi-instansi Vertikal berada di bawah koordinasi Kepala Wilayah sebagai
wakil Pemerintah. Berhubung dengan itu, maka Instansi-instansi Vertikal wajib
melaporkan segala rencana dan kegiatan, memberikan keterangan-keterangan yang
diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan oleh Kepala Wilayah.
III.
Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
Instansi-instansi Vertikal, begitu juga antara Instansi-instansi Vertikal
dengan Pemerintah Daerah, Kepala Wilayah harus selalu memperhatikan dan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(d)
Bimbingan dan pengawasan terhadap Pemerintah
Daerah.
I.
Bimbingan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan Daerah disamping menjadi tugas Pemerintah adalah juga menjadi
tugas Kepala Wilayah.
II.
Bimbingan dan pengawasan itu harus selalu dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
(e)
Pembinaan tertib pemerintahan.
Peraturan
perundang-undangan dan Peraturan daerah harus selalu diusahakan agar ditaati
bukan saja oleh Rakyat tetapi juga oleh Instansi-instansi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang bersangkutan.
Tugas ini adalah
tugas Kepala Wilayah dalam semua tingkat. Dalam hubungan ini Kepala Wilayah
dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenang
yang ada padanya.
(f)
Pelaksanaan tugas-tugas lain.
Selain tugas-tugas
sebagai tersebut diatas, maka Kepala Wilayah melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
ditugaskan kepadanya dan juga tugas-tugas lain yang tidak menjadi tugas sesuatu
Instansi Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah.
(3)
Tindakan Kepolisian
Berhubung dengan
pentingnya kedudukan Kepala Wilayah Propinsi maka untuk menjamin kewibawaannya,
tatacara tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi tersebut diatur
secara khusus.
c.
Sekretariat Wilayah.
(1)
Mengenai Sekretariat Wilayah Propinsi, Ibukota
Negara, Kabupaten dan Kotamadya, lihat penjelasan Sekretariat Daerah.
(2)
Sekretariat Wilayah Kecamatan dan Kota Administratif
diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
6.
Pengawasan
a.
Umum
Dalam segi
organisasi, terutama dalam organisasi pemerintahan, fungsi pengawasan adalah
sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya
keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh Daerah-daerah dan
oleh Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.
b.
Pengawasan Umum
Pengawasan Umum
adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap segala
kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan Daerah
dengan baik. Pengawasan Umum terhadap pemerintahan Daerah dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah sebagai
wakil Pemerintah di daerah bersangkutan.
c.
Pengawasan Prepentip,
(1)
Pengawasan Prepentip mengandung prinsip bahwa
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru
berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu:
(a)
Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah Tingkat I;
(b)
Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah Tingkat II.
(2)
Pada pokoknya Peraturan Daerah atau Keputusan
Kepala Daerah yang untuk berlakunya memerlukan pengesahan adalah yang:
(a)
menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat Rakyat
ketentuan-ketentuan yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada
Rakyat;
(b)
mengadakan ancaman pidana berupa denda atau
kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah;
(c)
memberikan beban kepada Rakyat, misalnya pajak atau
retribusi Daerah;
(d)
menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh
umum, karena menyangkut kepentingan Rakyat, misalnya:
mengadakan
hutang-piutang, menanggung pinjaman, mengadakan Perusahaan Daerah, menetapkan
dan mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, menetapkan perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, mengatur gaji pegawai dan lain-lain;
(e)
Pengawasan Represif.
(1)
Pengawasan Represip dilakukan terhadap semua
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
(2)
Pengawasan Represif berwujud penangguhan atau
pembatalan Peraturan Daerah atau Kepala Daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang
berwenang.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Pasal ini menegaskan arti beberapa istilah
yang digunakan dalam undang-undang ini, dengan maksud untuk menyamakan
pengertian tentang istilah-istilah itu, sehingga dengan demikian dapat
dihindari kesalahpahaman dalam penafsirannya.
Yang dimaksud dengan Pembantu-pembantu
Presiden dalam huruf a pasal ini adalah Pembantu Presiden sebagai mana yang di
maksud dalam pasal 4 ayat (2) dan pasal 17 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Pasal
2
Yang dimaksud dengan kata ”wilayah” (“w” kecil)
dalam pasal ini adalah “teritorial” yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18
Undang-undang Dasar 1945.
Pasal
3
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Yang dimaksud dengan
perkembangan dan pengembangan selanjutnya ialah perkembangan dan pengembangan otonomi
baik mengenai jumlah maupun tingkatnya dalam arti dapat berkembang kesamping,
ke atas dan ke bawah.
Pasal
4
Untuk menentukan batas yang dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini maka setiap Undang-undang pembentukan Daerah dilengkapi
dengan peta yang sejauh mungkin dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis
Daerah yang bersangkutan. Demikian pula mengenai perubahan batas Daerah dan
pembentukan atau perubahan batas Wilayah.
Pasal
5
Lihat penjelasan umum
Pasal
6
Jakarta sebagai Ibu kota Negara republik
Indonesia yang ditatapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 (Lembaga Negara
Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 78) mempunyai ciri-ciri dan kebutuhan yang
berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat menghendaki adanya susunan pemerintahan yang lebih menjamin daya guna dan
hasil guna yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu pasal ini memberikan kemungkinan
bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara, dalam wilayahnya dapat mempunyai susunan
pemerintahan yang berlainan dengan Daerah Tingkat I lainnya, yang sejauh
mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang
pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.
Pasal
7
Lihat Penjelasan Umum
Pasal
8
ayat (1)
Lihat Penjelasan
Umum
ayat (2)
Penambahan
penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah haruslah disertai perangkat, alat
perlengkapan dan sumber pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan
pemerintahan yang diserahkan itu dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu perlu
dikemukakan, bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah ada
kalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, yaitu apabila
Daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut atau perangkat itu
sebelumnya telah diserahkan kepadanya. Sebagai contoh, berbagai urusan di
bidang pertanian telah diserahkan kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah
tangganya. Pada waktu penyerahan itu disertai pula penyerahan perangkatnya,
yaitu Dinas Pertanian Rakyat. Jika di kemudian hari terjadi penambahan
penyerahan urusan di bidang Pertanian, maka dalam hal ini dengan sendirinya
tidak perlu disertai penyerahan perangkatnya lagi, karena perangkat itu telah
ada pada Daerah.
Pasal-pasal
9 sampai dengan 13
Lihat Penjelasan Umum
Pasal
14
Cukup Jelas
Pasal
15
Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari
antara calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak
terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, karena hal ini
adalah merupakan hak prerogatif Presiden.
Pasal
16
Menteri Dalam Negeri, yang dalam hal ini
bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah Tingkat II tidak
terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon.
Pasal
17
Masa jabatan seorang Kepala Daerah adalah 5
lima (lima) tahun, dihitung mulai tanggal pelantikannya. Apabila masa jabatan
ini berakhir, maka ia dapat diangkat kembali sebagai Kepala Daerah untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun berikutnya. Apabila masa jabatan kedua ini telah
berakhir, ia tidak boleh diangkat lagi sebagai Kepala Daerah untuk masa jabatan
ketiga kalinya di daerah tersebut.
Pasal
18
Pengucapan sumpah bagi penganut-penganut agama
tertentu dapat diketahui dengan kata-kata penyebutan Tuhan Yang Maha Esa
menurut agamanya masing-masing. Misalnya untuk penganut agama Islam didahului
dengan kata-kata “Demi Allah”.
Pasal
19
Cukup Jelas
Pasal
20
Maksud diadakan larangan-larangan bagi Kepala
Daerah yang dimuat di dalam pasal ini ialah untuk menghilangkan kemungkinan
yang dapat mendorong Kepala Daerah berbuat hal-hal yang menyalahi tugas dan tanggung
jawabnya sebagai Kepala Daerah.
Pasal
21
Cukup Jelas
Pasal
22
Lihat penjelasan Umum
Pasal
23
ayat (1)
Sebagai pimpinan dan
penanggung jawab tertinggi di dalam Daerahnya. Maka selayaknyalah apabila
Kepala Daerah bertindak mewakili Daerahnya dalam segala persoalan yang timbul
sebagai akibat dari pelaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya, baik di dalam
maupun di luar Pengadilan.
ayat (2)
Berhubung dengan
banyaknya tugas Kepala Daerah, maka apabila dipandang perlu, Kepala Daerah
dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya dalam hal-hal
tertentu di luar dan di dalam Pengadilan. Penunjukan seseorang kuasa harus
dilakukan dengan resmi menurut prosedur yang berlaku.
Pasal
24 dan 25
Lihat Penjelasan Umum
pasal
26
Untuk mencegah kekosongan pimpinan pemerintah
Daerah, baik bagi Daerah yang mempunyai Wakil Kepala Daerah maupun yang tidak
mempunyai Wakil Kepala Daerah, maka pasal ini menugaskan kepada Menteri Dalam
Negeri untuk mengatur tentang pejabat yang mewakili Kepala Daerah dalam hal
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan.
Pasal
27
Yang dimaksud dengan Undang-undang dalam pasal
ini adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 selama belum diubah atau diganti.
Pasal-pasal
28 sampai dengan 31
Cukup Jelas
pasal
32
ayat (1)
Sifat terbuka
rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sesuai dengan cita-cita
Demokrasi PANCASILA, oleh karena dengan demikian Rakyat dapat mengikuti secara
langsung tentang hal-hal yang dibicarakan dalam rapat-rapat itu.
ayat (2)
Rapat tertutup dapat
diadakan apabila masalah yang akan dibicarakan bersifat rahasia.
ayat (3)
Cukup Jelas
ayat (4)
Mereka yang hadir
dalam rapat-rapat tertutup yang sengaja membocorkan hal-hal yang dibicarakan
dalam rapat tersebut sebelum Dewan membebaskannya, dapat dituntut di muka
Pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
33
Pasal ini mengatur kebebasan mengeluarkan
pendapat yang obyektif dan bermanfaat yang memang seyogyanya harus dijamin
dalam Negara Demokrasi PANCASILA. Namun demikian para Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah wajib memegang teguh kode etik yang mengandung prinsip bahwa sesuatu
hal yang harus dirahasiakan tidak boleh dibocorkan.
ayat (2)
Lihat Penjelasan
Pasal 83
Pasal
34
Cukup Jelas
Pasal
35
Dalam menjalankan pemerintahan Daerah perlu
dijaga jangan sampai Negara atau Daerah yang bersangkutan menderita kerugian.
Yang menjalankan pemerintahan Daerah adalah pemerintah Daerah, yakni Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Apabila Kepala Daerah melalaikan tugasnya
sehingga dapat merugikan Negara atau Daerah, maka terhadapnya dapat dilakukan
tindakan administratif. Jika yang melalaikan itu Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, tindakan demikian itu tidak dapat dijalankan.
Karena itu untuk mengatasi perlu ditentukan
cara bagaimana hak dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu harus
dijalankan.
Pasal
36
Cukup Jelas
Pasal
37
Pengangkatan Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari pegawai Negeri dengan memperhatikan peraturan kepegawaian
yang berlaku dan termasuk formasi pegawai Sekretariat daerah
Pasal-pasal
38 dan 39
Cukup Jelas.
Pasal
40
Pengundangan Peraturan Daerah yang dilakukan
menurut cara yang sah, merupakan keharusan agar Peraturan Daerah itu mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Cara pengundangan yang sah adalah pengundangan
yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah dengan penempatan Peraturan Daerah itu dalam
Lembaran Daerah, dengan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang berlakunya
memerlukan pengesahan lebih dahulu dari pejabat yang berwenang, baru dapat
diundangkan setelah Peraturan Daerah itu disahkan.
Penempatan Peraturan Daerah di dalam surat
kabar atau pengumuman dengan cara lain, seperti melalui radio dan televisi,
tidak merupakan pengundangan yang sah melainkan suatu pengumuman biasa,
sehingga belum mempunyai kekuatan hukum dan belum mengikat.
Pasal
41
Cukup Jelas.
Pasal
42
Pelaksanaan yang dilakukan oleh penguasa
eksekutif untuk menegakkan hukum dalam Undang-undang ini disebut “pelaksanaan
penegakan hukum” atau “paksaan pemeliharaan hukum”. Paksaan penegakan hukum
dianggap telah tersimpul dalam hak penguasa eksekutif dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah, sehingga tidak perlu lagi
untuk memberikan dasar hukum tertulis mengenai hak penguasa eksekutif untuk
melakukan paksaan yang dianggapnya perlu dalam menjalankan Peraturan Daerah.
karena itu di dalam pasal ini hal itu tidak perlu diatur lagi. Yang diatur
hanyalah mengenai pembebanan kepada pelanggar dengan biaya seluruhnya atau
sebagian, yang telah dikeluarkan oleh Daerah untuk melakukan paksaan penegakan
hukum itu.
Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya
berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah, melakukan atau memperbaiki segala
sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan atau ditiadakan yang
bertentangan dengan hukum. Kiranya perlu ditegaskan, bahwa paksaan penegakan
hukum hanya sah jika paksaan itu digunakan untuk menegakkan hukum.
Paksaan itu harus langsung tertuju pada
pemulihan sesuatu keadaan yang sah atau pencegahan terjadinya sesuatu keadaan
yang tidak sah. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh
penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak memperdulikannya,
barulah dijalankan suatu tindakan yang memaksa. Pejabat yang menjalankan
paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar, harus dengan tegas diserahi tugas
itu. Oleh karena paksaan penegakan hukum itu pada umumnya dapat menimbulkan
kerugian atau penderitaan, maka paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanyalah
dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara yang seimbang dengan
beratnya pelanggaran.
Pasal
43 dan 44
Cukup Jelas
Pasal
45
Oleh karena Kepala Daerah adalah penguasa
eksekutif, maka pelaksanaan Peraturan Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah
apabila Peraturan Daerah itu tidak menunjuk pelaksana lain. Kepala Daerah juga
melaksanakan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah. Untuk melaksanakan
tugas pembantuan itu dapat dibuat Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala
Daerah.
Pasal
46
Badan Pertimbangan Daerah yang dimaksud dalam
pasal ini ialah suatu Badan yang baik diminta maupun tidak, bertugas untuk
memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Daerah mengenai segala hal
ikhwal tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar supaya Badan tersebut
dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi Kepala Daerah,
maka Badan tersebut dapat senantiasa mengikuti perkembangan pemerintahan
Daerah, dalam arti tidak turut campur secara langsung dalam soal-soal
pelaksanaan pemerintahan.
Kiranya cukup jelas bahwa Badan tersebut tidak
mempunyai kedudukan dan wewenang seperti Badan Pemerintah Harian atau Dewan
Pemerintah Daerah yang pernah ada.
Pasal
47
Cukup Jelas.
Pasal
48
Yang dimaksud dengan “setelah mendengar
pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” ialah bahwa Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangannya kepada
Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi.
Pasal
49
Cukup Jelas
Pasal-pasal
50 sampai dengan 54
Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal 50 sampai dengan 54 ini harus disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
55
Sumber pendapatan Daerah dibagi dalam 3 (tiga)
golongan yakni:
a.
pendapatan asli Daerah sendiri;
b.
pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah;
c.
lain-lain pendapatan yang sah.
Mengenai “lain-lain pendapatan yang sah” dapat
ditugaskan, bahwa yang termasuk dalam golongan ini adalah pendapatan Daerah
yang berasal dari sumber lain daripada yang tersebut dalam huruf a dan b
misalnya sumbangan dari pihak ketiga kepada Daerah dan lain-lain.
Pasal-pasal
56 sampai dengan 60
Cukup Jelas.
Pasal
61
Yang berwenang mengadakan hutang piutang dan
menanggung pinjaman adalah Kepala Daerah, yang menetapkan dengan suatu
Keputusan Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah tersebut harus lebih dahulu
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dituangkan dalam
bentuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Keputusan Kepala Daerah tersebut bagi Daerah
Tingkat I maupun bagi daerah tingkat II, untuk dapat berlaku memerlukan
pengesahan dari Menteri Dalam Negeri. Ditentukannya Keputusan Kepala Daerah
tersebut dibawah pengawasan Prepentip langsung oleh Menteri Dalam Negeri adalah
terutama karena mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu sangat
penting artinya dan besar pula akibatnya, karena dapat merupakan beban Rakyat,
tidak saja untuk satu generasi, bahkan mungkin pula untuk beberapa generasi. Di
dalam Keputusan Kepala Daerah itu harus pula ditetapkan sumber-sumber untuk
memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran-angsurannya, demikian pula cara
pembayarannya, sehingga menurut keputusan dalam pasal 32 ayat (3) Undang-undang
ini, keputusan untuk mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu
tidak boleh diambil dalam rapat tertutup dari Dewan perwakilan Rakyat.
Pasal
62
Cukup Jelas.
Pasal
63
Cukup Jelas.
Pasal
64
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah
suatu hal yang sangat penting, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
itu;
a.
Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada
Rakyat Daerah yang bersangkutan;
b.
Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan Otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab;
c.
Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab
Pemerintah Daerah umumnya dan kepala Daerah khususnya, karena Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan
Pemerintah Daerah;
d.
Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan
pengawasan terhadap Daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna;
e.
Merupakan suatu pemberian kuasa kepada Kepala
Daerah untuk melakukan penyelenggaraan keuangan Daerah di dalam batas-batas
tertentu.
Berhubung dengan itu maka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan
seksama dengan memperhatikan skala prioritas dan dalam pelaksanaannya harus
terarah pada sasaran dengan cara berdaya guna dan berhasil guna.
Oleh karena tahun anggaran Negara dengan tahun
anggaran Daerah adalah sama dan Daerah baru dapat menyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerahnya sesudah diketahui besarnya subsidi yang akan diterimanya,
maka dalam praktek proses penyusunan dan pengesahan serta pengundangan Anggaran
Pendapatan dan belanja Daerah itu baru dapat diselesaikan beberapa bulan
setelah permulaan tahun anggaran.
Namun demikian persiapan-persiapan sudah dapat
dimulai sebelumnya. Selama proses itu berlangsung, kegiatan Pemerintah Daerah
yang memerlukan pembiayaan berlangsung terus. Untuk itu diperlukan adanya
ketentuan pasal ini.
Pasal
65
Cukup Jelas,
Pasal
66
Sudah sewajarnya bahwa Instansi yang lebih
tinggi bertindak dan mengambil keputusan untuk mengatasi perselisihan yang
timbul antara Instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya.
Perselisihan itu dapat terjadi antara:
a.
Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat I lainnya;
b.
Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam
Wilayah Daerah Tingkat I tersebut.
c.
Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam
Daerah Tingkat I lain;
d.
Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II di dalam
satu daerah Tingkat I;
e.
Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II yang
tidak termasuk di dalam satu Daerah Tingkat I.
Perselisihan yang dimaksud dalam huruf a, b, c
dan d diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri, sedang perselisihan yang dimaksud
dalam huruf d diputuskan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan.
Perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini sudah tentu hanya mengenai
perselisihan mengenai pemerintahan, jadi yang bersifat hukum publik, sebab perselisihan
yang bersifat hukum perdata sudah jelas menjadi kompetensi Pengadilan.
Pasal
67
Cukup Jelas.
Pasal-pasal
68 sampai dengan 72
Lihat Penjelasan Umum.
Pasal
73
Mengingat hanya tugas-tugas yang dihadapi oleh
Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan urusan pemerintah umum, terutama dalam
hal pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Menteri Dalam Negeri
dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya
dalam rangka dekonsentrasi.
Pasal
74
Maksud pasal ini adalah untuk menegaskan,
bahwa wilayah Daerah Tingkat I adalah juga wilayah Propinsi atau Ibukota
Negara. Oleh sebab itu nama dan batas Daerah Tingkat I adalah juga nama dan
batas Propinsi atau Ibukota Negara.
Sehubungan dengan itu maka ibukota Daerah
Tingkat I adalah juga ibukota Propinsi. Pengertian ini berlaku juga untuk
Daerah Tingkat II.
Pasal
75
Yang dimaksud dengan “sebutan” dalam pasal ini
ialah sebutan Wilayah lainnya, yaitu Wilayah-wilayah yang tidak termasuk dalam
pasal 74 misalnya Kecamatan dan Kota Administratif.
Pasal-pasal
76 sampai dengan 79
Cukup Jelas.
Pasal-pasal
80 dan 81
Lihat Penjelasan Umum.
Pasal
82
Cukup Jelas.
Pasal
83
Yang dimaksud dengan tindakan-tindakan
kepolisian adalah pemanggilan sehubungan dengan tindakan pidana yang menyangkut
Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara, meminta keterangan tentang tindak
pidana, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
Pengaturan tatacara tindakan kepolisian
terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara memiliki hak kekebalan terhadap
tuntutan hukum.
Pasal
84 dan 85
Cukup Jelas.
Pasal
86
ayat (1)
Cukup Jelas.
ayat (2)
Cukup Jelas.
ayat (3)
Susunan organisasi
dan formasi satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
setelah mendengar pertimbangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan
Bersenjata.
Pasal-pasal
87 dan 88
Cukup Jelas.
Pasal
89
Pasal ini menentukan, bahwa pokok-pokok
susunan organisasi dan hubungan kerja antara perangkat Pemerintah di daerah
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dianggap penting, karena pada
hakekatnya tugas dan wewenang perangkat Pemerintah di daerah itu sangat erat
hubungannya satu dengan yang lain. Dengan adanya peraturan ini, maka dapatlah
dihindarkan persentuhan wewenang dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan tugas.
Pasal
90
Untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan
secara berdaya guna dan berhasil guna serta dalam rangka usaha untuk sejauh
mungkin menyeragamkan organisasi, maka perlu ditetapkan pola organisasi
Pemerintah Daerah dan perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan
umum di daerah. Pola organisasi ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan
memperhatikan keadaan Daerah yang berbeda-beda.
Pasal
91 dan 92
Cukup Jelas.
Pasal
93
Meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
telah dicabut, akan tetapi sebutan “Daerah Istimewa Aceh” masih tetap berlaku,
dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa
Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I
lainnya, dengan wewenang mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1965 yakni meliputi urusan-urusan pemerintahan
sebagai berikut:
a.
Hal penguburan mayat,
b.
Hal sumur bor,
c.
Hal Undang-undang gangguan,
d.
Hal pembikinan dan penjualan es dan barang cair
yang mengandung zat arang.
e.
Hal penangkapan ikan di pantai,
f.
Hal perhubungan dan lalu-lintas jalan,
g.
Hal pengambilan benda-benda tambang tidak disebut
dalam pasal 1 “Indische mijnwet”
h.
Hal kehutanan.
Disamping itu dengan berbagai Peraturan
Pemerintah telah diserahkan pula urusan-urusan pemerintahan sebagai berikut:
a.
Pertanian Rakyat - PP. No. 47/1951 jo UU. No.
24/1956
b.
Peternakan/Kehewanan - PP. No. 48/1951 jo UU. No.
24/1956
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3037
Tidak ada komentar:
Posting Komentar